Wednesday, October 12, 2011

Nebulisasi pada anak…… amankah?

Aman tidaknya nebulisasi pada anak merupakan pertanyaan yang selalu disampaikan oleh orangtua bila tindakan ini menjadi pilihan dalam pengobatan anaknya. Karena itu kali ini topik yang saya pilih adalah nebulisasi, dengan harapan dapat memberi informasi lebih detil mengenai terapi ini.

Nebulisasi merupakan bagian dari terapi inhalasi, terapi ini memberikan obat secara langsung pada saluran nafas melalui hirupan uap.   Tindakan ini aman karena bekerja langsung pada target yang dituju yaitu saluran nafas.  Awitan kerja obat cepat dengan dosis minimal sehingga konsentrasi obat dalam darah sedikit, dan tentunya efek samping obatpun menjadi minimal.  Terapi ini sudah digunakan secara luas di divisi Respirologi maupun Rehabilitasi Medik.  Pemilihan terapi ini tentunya sesuai indikasi dan keberhasilannya dipengaruhi oleh pemilihan jenis obat dan tekhnik pemberiannya.

Secara garis besar, terapi inhalasi dapat menggunakan alat nebulizer, Dry Powder Inhaler (DPI), dan Metered Dose Inhaler (MDI) dengan atau tanpa spacerNebulizer lebih sering dipilih untuk anak usia pra sekolah karena tidak memerlukan banyak koordinasi. Terapi dengan menggunakan alat ini disebut nebulisasi, tetapi baik dokter maupun orangtua pasien sudah terlanjur terbiasa dengan istilah inhalasi.

Nebulisasi
Nebulisasi merupakan terapi inhalasi yang menggunakan alat nebulizer.  Awalnya terapi ini hanya dilakukan pada kasus asma, tetapi seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan beberapa penelitian menunjukkan terapi ini juga bermanfaat dalam mengatasi masalah saluran nafas lainnya. Pada anak dengan riwayat atopi keluarga, dapat terjadi hiperreaktivitas bronkus (HRB) dengan atau tanpa retensi lendir/sputum.   Kondisi ini sangat mengganggu, bahkan anak dapat muntah karena kesulitan mengeluarkan dahak/lendir ataupun terbangun dari tidur karena batuk.  Kasus lainnya seperti rhinitis alergi, croup, bronkiolitis, pneumonia, aspirasi, maupun penyakit paru menahun juga memberikan respon positif pasca nebulisasi.

Tindakan ini dapat ditujukan untuk mengencerkan lendir, melebarkan (dilatasi) bronkus dan megatasi proses radang (inflamasi) yang langsung ke target organ sesuai dengan indikasi dan jenis obat yang dipilih. Terapi inhalasi lainnya yang berupa obat hirupan dalam bentuk bubuk kering Dry Powder Inhaler (DPI).   Contoh obat-obat ygng termasuk DPI antara lain Spinhaler®, Rotahaler®, Diskhaler®, Easyhaler, ® dan Turbuhaler®.  Dibandingkan nebulizer, baik DPI maupun MDI memerlukan edukasi cara pemakaian sehingga umumnya dianjurkan untuk anak usia sekolah.

Di luar negeri, terapi inhalasi yang lebih banyak dipilih adalah MDI dibandingkan nebulizer. Kelemahan alat nebulizer tentunya kurang flexibel, harga alat yang cukup mahal, ukuran alat besar, memerlukan tenaga listrik, dan pamakaiannya membutuhkan waktu yang lama sehingga kurang nyaman bagi bayi/anak.   Anak usia sekolah yang sudah dapat diedukasi mengenai tekhnik penggunaan alat, dapat menggunakan MDI tanpa spacer, tetapi untuk bayi dan anak pra sekolah diperlukan spacer.

Spacer sebagai pengatur jarak antara MDI dengan mulut anak.  Alat ini berfungsi  mengumpulkan partikel, sehingga partikel yang masuk ke saluran nafas anak merupakan partikel berukuran kecil.  Partikel dengan  ukuran yang besar (tidak aman) akan tertinggal di spacer, tetapi alat ini belum ada di Indonesia.   Bila orangtua mampu menyediakan spacer dengan membelinya dari luar negeri, maka perlu edukasi mengenai cara pemakaiannya.  Dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan fasilitas, diharapkan nantinya alat ini juga dapat tersedia di Indonesia.

Nebulizer

Alat ini merubah bentuk larutan menjadi aerosol secara terus menerus.  Ada 2 jenis nebulizer yaitu ultrasonik dan jet.  Alat ini bekerja menggunakan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan, atau gelombang ultrasonik.  Nebulizer dapat menghasilkan partikel aerosol secara terus-menerus, dan ada juga yang dapat diatur sehingga aerosol hanya ada pada saat anak melakukan inhalasi dan obat tidak banyak terbuang.

Aerosol yang terbentuk dihirup anak melalui mouth piece atau sungkup.  Aerosol yang terbentuk menghasilkan partikel yang berukuran sangat kecil sehingga dapat masuk ke saluran nafas yaitu berukuran < 10 µm.  Ukuran inilah yang menentukan target, partikel dengan ukuran yang sangat kecil dibutuhkan utk dapat menjangkau bagian dari saluran nafas tersebut.  Target organ sepanjang saluran nafas yaitu hidung, sinus, trakea, bronkus, bronkiolus, bahkan sampai alveolus.  

Indikasi
Nebulisasi atas indikasi seperti yang disampaikan sebelumnya, ditujukan untuk meredakan masalah pada saluran pernafasan sesegera mungkin.   Pada kasus asma dalam serangan, bila pasca nebulisasi membaik dan sesak berkurang maka tidak perlu diulang.   Pengulangan tindakan itu dikerjakan berdasarkan baik tidaknya respons pasca nebulisasi.   Jika responsnya kurang baik, maka dapat diulang 15-30 menit kemudian.   Serangan yang sudah reda perlu dikontrol agar tidak berulang dengan obat-obatan yang diminum (oral).

Tidak semua masalah pada saluran nafas perlu dilakukan nebulisasi.  Pada kasus HRB yang ringan tidak perlu dilakukan tindakan ini.  Nebulisasi dilakukan umumnya bertujuan untuk mengencerkan lendir, melebarkan saluran napas bronkus (dilatasi bronkus) dan mengurangi proses radang.   Pada keluhan batuk keras tanpa disertai retensi lendir dan tidak sesak tentunya tidak diperlukan nebulisasi.  Tindakan ini juga tidak untuk terapi hidung buntu ataupun pilek.

Prosedur nebulisasi
Setiap pasien harus memiliki selang dan masker masing-masing. Pemberian obat-obatan dan dosisnya sesuai dengan takaran yang dianjurkan oleh dokter. Pada saat mesin dihidupkan, anak-anak cukup bernafas normal. Terapi dilangsungkan kurang lebih 10-15 menit hingga cairan obat dalam alat habis.


Obat-obatan.
Umumnya diberikan larutan garam fisiologis sebagai pelarutnya selain bahan aktif berupa obat-obatan.  Jenis obat untuk nebulisasi terdiri dari golongan β-agonis, antikolinergik dan golongan steroid. Golongan β-agonis antara lain Berotec®, Ventolin®, dan Bricasma®.   Golongan antikolinergik yaitu Ipratropium bromide (Atrovent®) dan golongan steroid dapat mengandung budesonide (Pulmicor®) dan fluticason (Flixotide®).  Selain itu juga ada obat merupakan gabungan antara β-agonis dan antikolinergik yaitu salbutamol dan ipratropium (Combivent UDV®).

Adanya kekhawatiran obat steroid melalui nebulisasi lebih berbahaya daripada steroid oral tentunya tidak beralasan.   Steroid dalam nebulisasi tidak menimbulkan efek samping seperti steroid oral yang mengganggu kardiovaskuler, saluran cerna , mata dan metabolik.  Dalam nebulisasi, dosis steroid sangat kecil dibandingkan oral sehingga hanya sedikit sekali yang beredar di dalam darah dan karena itu efek samping menjadi minimal.  Dari penelitian-penelitian juga menunjukkkan bahwa pemberian steroid inhalasi aman digunakan dalam jangka panjang.

Manfaat Nebulisasi
Manfaat nebulisasi tentu saja sangat tergantung pada efektifitas alat, tekhnik penggunaan dan pemilihan obat-obatan.  Deposisi obat yang masuk ke saluran nafas setelah nebulisasi ditujukan untuk mengencerkan lendir, mampu melebarkan (dilatasi) saluran nafas dan mengatasi proses radang.    Pada kasus-kasus tertentu dibutuhkan tindakan tambahan berupa fisioterapi pada dada seperti alat penggetar (vibrator), tepukan (tap) ataupun pemanasan (radiation). Untuk pemilihan tindakan yang lebih jauh, biasanya dokter rehabilitasi medik dapat turut berperan agar manfaat nebulisasi diperoleh maksimal.  Nebulisasi cukup efektif karena sedikit memerlukan koordinasi dan beberapa jenis obat dapat dicampur menjadi satu.

Kurangnya informasi mengenai manfaat terapi inhalasi yang diperoleh para orangtua, petugas kesehatan, bahkan pada dokter berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan lamanya pengobatan anak dengan masalah pada saluran nafas.   Dokter yang tidak mengikuti perkembangan dan perubahan konsep mengenai tatalaksana penyakit pada saluran nafas, tidak mempunyai ketrampilan praktis penggunaan alat-alat untuk terapi inhalasi, sehingga ada dokter yang melarang pasien yang sudah menggunakan terapi ini.  Memang sangat dibutuhkan komunikasi, informasi dan edukasi lebih detil mengenai tatalaksana ini, sehingga pemahaman mengenai topik ini baik pada orangtua maupun dokter dapat seiring.

Demikianlah info tentang nebulisasi yang dapat saya sampaikan.  Dari tulisan ini dapat difahami mengapa obat-obat tertentu dipilih dan obat yang lainnya ditinggalkan.   Tentunya dalam menulis artikel ini, saya juga mendapat tambahan info dari sejawat lainnya yang kompeten dibidang Respirologi maupun Rehabilitasi medik.   Semoga tulisan ini juga bermanfaat bagi para orangtua dan sejawat lainnya.

Monday, April 11, 2011

Alergi Makanan pada Balita

Topik ini sudah lama ingin saya tulis karena banyaknya kasus yang ditemukan saat praktek sehari-hari.  Istilah alergi terdengar tidak asing ditelinga, tetapi untuk menegakkan diagnosis ini memerlukan ketelitian saat bertanya (anamnesis) maupun saat melakukan pemeriksaan fisis terhadap gejala yang timbul.

Angka kejadian Alergi makanan tampak meningkat tetapi faktor pencetusnya relatif tidak berubah.  Susu sapi, telur, ikan, kerang, kacang tanah dan gandum masih merupakan alergen utama pada masa anak.  Untuk alergi ini, tatalaksana yang utama tentunya menghindari pencetus (Avoidance).  Hal ini sangat penting dalam mencegah terjadinya kekambuhan.  Eliminasi makanan tertentu dalam jangka panjang dapat menyebabkan malnutrisi, karena itu pentingnya edukasi pada orangtua dalam memilih makanan pengganti untuk menjaga agar tumbuh kembang normal.

Alergi Makanan
Makanan sangat dibutuhkan untuk tumbuh dan kembang anak.  Kandungan didalamnya berupa karbohidrat, protein dan lemak.   Alergi makanan adalah reaksi hipersensitivitas terhadap alergen yang terdapat pada makanan.   Reaksi ini timbul setelah tersensitisasi (terpapar/kontak) terhadap makanan yang mengandung alergen.   Gejala klinis yang timbul tergantung pada sistem organ tubuh yang dikenai seperti kulit, saluran nafas, saluran cerna, dapat pula mengenai semua sistem.

Alergen adalah antigen yang menyebabkan terjadinya alergi.  Alergen pada makanan ini dibagi menjadi alergen kelas1 dan kelas 2.  Alergen kelas 1 merupakan alergen utama, berupa glikoprotein yang larut dalam air, stabil dalam panas, asam dan protease.  Alergen kelas 2 sangat labil terhadap panas, mudah terdegradasi enzim dan sulit diisolasi.  Proses memasak dapat mereduksi maupun meningkatkan alergenisitas protein-protein tertentu dari makanan.

Umumnya bila terdapat reaksi yang tidak diharapkan terhadap makanan sering disebut sebagai alergi makanan, tetapi sesungguhnya menurut The American of Allergy and Immunology dan The National Institute of Allergy and Infectious Disease ada batasan sebagai berikut:
1. Reaksi simpang makanan (Adverse food reaction), merupakan istilah umum untuk reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan yang dapat merupakan reaksi sekunder terhadap alergi makanan ataupun intoleransi makanan.

2. Alergi makanan (Food allergy), merupakana hasil reaksi imunologik yang menyimpang, Sebagian besar diperantarai reaksi hipersensitifitas tipe I fase cepat.  Reaksi ini terjadi beberapa menit setelah pajanan alergen yang sesuai dan dapat bertahan beberapa jam meskipun tidak kontak lagi dengan alergen tersebut.

3. Intoleransi makanan (Food intolerance), merupakan istilah umum untuk respon abnormal terhadap makanan.  Ini merupakan reaksi non imunologik yang dapat terjadi karena zat yang terkandung dalam makanan seperti kontaminasi racun, dapat pula karena kelainan dalam tubuh orang tersebut seperti gngguan metabolisme.  Pada kelompok ini kejadian timbul beberapa jam setelah mendapat makanan yang cukup banyak bahkan dapat lebih lama.

Penyebab
Faktor-faktor yang memodulasi keseimbangan imunitas saluran cerna adalah sifat dan kekerapan paparan alergen, kerentanan genetik, dan imaturitas usus.   Paparan dini terhadap alergen sangat berperan sebagai penyebab.  Hal ini dipengaruhi kecepatan absorbsi protein dan kondisi anak.  Pada anak dengan salah satu orang tua atopi (bakat alergi dalam keluarga), kemungkinan untuk terjadi alergi 17-29%, bila kedua orangtua atopi maka kemungkinan alergi 53-58%.

Usus memiliki pertahanan baik secara mekanis melalui mukosa dan peristaltik maupun secara kimia berupa asam lambung dan enzim percernaan yang menyebabkan denaturasi alergen.  Pada usus yang imatur, pertahanan tersebut masih lemah sehingga alergen mudah masuk.  Salah satu manfaat pemberian ASI eksklusif ditujukan untuk mengurangi hipersensitivitas pada tahun pertama kehidupan. Pemberian PASI pada bayi cenderung meningkatkan angka kejadian alergi.

Mekanisme terjadinya alergi
Alergi makanan dapat diperantarai imunoglobulin E (IgE) maupun tidak.   Seseorang yang secara genetik mempunyai bakat atopi akan memproduksi antibodi IgE spesifik terhadap protein tertentu bila tubuh gagal dalam mentoleransi ketika terpapar/ kontak suatu makanan yang mengandung alergen.  Pada alergi yang tidak diperantarai IgE sampai saat ini masih belum terdapat bukti yang jelas.  Sel limfosit T dan makrofag tampaknya berperan utama pada tipe alergi ini.

Menurut Gell dan Coombs, terdapat 4 tipe reaksi hipersensitivitas yaitu tipe I (hipersensitivitas anafilaktik), ada 2 fase yaitu fase cepat dan fase lambat, tipe II (hipersensitif sitotoksik), tipe III (hipersensitif yang diperani kompleks imun), dan tipe IV hipersensitive cell mediated ( tipe lambat).  Dari ke-4 tipe reaksi tersebut, yang medasari reaksi alergi yang diperantarai IgE adalah hipersensitivitas tipe I.  Bila proses alergi tidak diperantarai IgE, yang berperan adalah reaksi imunologis lain yaitu reaksi hipersensitivitas tipe III atau tipe IV.

Jenis makanan yang menyebabkan alergi
Beberapa makanan yang bersifat alergen utama antara lain susu sapi (susu formula), telur, kacang-kacangan, ikan, gandum, dan kerang.  Protein susu sapi dapat menyebabkan alergi, baik dalam bentuk susu murni maupun bentuk lain seperti keju, es krim, kue, dan yogurt.  Anak dengan alergi susu sapi tidak selalu alergi terhadap daging maupun bulu sapi.

Manifestasi klinis.
Manifestasi klinis dapat bersifat lokal pada organ tertentu maupun sistemik.  Manifestasi klinis tergantung sistem organ tubuh yang tersensitisasi, tetapi terkadang pada seorang anak juga didapatkan manifestasi pada semua sitem (sistemik).

Saluran cerna
Saluran cerna merupakan organ yang pertama kontak dengan makanan.  Gejala dapat berupa bengkak dan gatal di bibir sampai lidah.   Kontak selanjutnya dapat mencapai saluran cerna lebih dalam sehingga timbul nyeri dan kolik perut, muntah, konstipasi menahun, diare berat bahkan sampai feses berdarah. Gejala kolik dan feses berdarah merupakan kondisi yang sering membuat orangtua panik dan datang berobat.
Bila dokter menyampaikan adanya kemungkinan alergi protein susu sapi pada anak, orangtua umumnya menyangkal dengan alasan anak sudah lama menkonsumsi susu tersebut tetapi tidak bermasalah.  Disini jelas bahwa bukan hanya jenis alergen yang berperan tetapi juga kekerapan terpapar alergen tersebut.

Kulit
Seseorang dapat muncul ruam-ruam merah, bengkak dan gatal setelah makan udang atau kacang yang disebut sebagai urtikaria akut.  Angioedema atau bengkak pada wajah dan bibir juga sering muncul.  Ruam merah, bentol dan gatal pada anak juga khas yang tampak pada pipi, daerah lipatan siku dan lipatan lutut yang disebut dermatitis atopi.

Saluran nafas
Gejala pada saluran nafas berupa batuk, mengi, dan sesak. Terkadang orangtua mengeluh bahwa batuk anaknya sering kambuh tanpa penyebab yang jelas dan berlangsung lama (batuk kronik berulang).

Sistemik
Reaksi ini muncul sekitar 30 menit setelah kontak alergen.   Manifestasi sistemik dapat ringan sampai berat.  Pada sistemik ringan, anak merasa gatal, hidung tersumbat, bengkak pada seluruh tubuh, dan sekitar mata.  Gejala sistemik sedang bila tampak gejala sistemik ringan disertai sesak, mengi, dan anak gelisah.  Pada sistemik berat reaksi muncul sangat cepat, mendadak, dengan gejala seperti reaksi sistemik sebelumnya disertai kesulitan bernafas sampai henti nafas.  Anak dapat kekurangan oksigen hingga tampak biru (sianosis).   Masalah di jantung ditandai hipotensi hingga terjadi renjatan dan penurunan kesadaran.  Gejala sistemik ringan dapat ditatalaksana dengan obat oral dan anak masih dapat rawat jalan tetapi untuk sistemik berat dibutuhkan tindakan segera dan rawat inap.

Diagnosis
Baku emas untuk mendiagnosis alergi makanan adalah dengan provokasi makanan secara buta (Double blind placebo controlle food challenge/DBPCFC).   Cara ini dengan melihat adanya perbaikan setelah menghentikan makanan tersebut salama 2-3 minggu dan gejala muncul kembali setelah makanan dikonsumsi ulang.  Cara lainnya yaitu dengan membuat catatan harian diet, uji eliminasi dan provokasi, uji tusuk kulit (skin prick test), dsb.  Bila dikhawatirkan anak akan mengalami reaksi alergi berat setelah dilakukan provokasi makanan, maka uji provokasi ini dilakukan dengan pengawasan dokter anak.  Pemeriksaan laboratorium darah seperti deteksi IgE serum spesifik makanan (Radioallergosorbent test/ RAST) dan IgE spesifik fluoresense enzyme immnunoassay CAP-RAST (FEIA CAP-RAST) akan membantu dalam menentukan apakah alergi termasuk yang diperantari IgE atau tidak .

Tatalaksana
Pada dasarnya alergi tidak bisa disembuhkan sehingga tatalaksana ditujukan untuk megendalikan kekambuhan dengan eliminasi makanan yang dicurigai.  Eliminasi suatu jenis makanan pada anak dalam tahap tumbuh kembang harus diperhatikan mencari penggantinya.  Makanan pengganti dipilih berdasarkan kesamaan nutrisi maupun kalorinya.  Makanan pengganti juga diupayakan memiliki rasa yang enak dan disukai anak.  Bila terdapat kesulitan makan ataupun kekhawatiran malnutrisi maka perlu peran serta antar divisi seperti Gizi, Respirologi, dan Alergi imunologi.

Pada bayi dengan riwayat atopi keluarga dan mendapat ASI eksklusif umumnya kekhawatiran alergi teratasi.  Bila bayi dengan ASI eksklusif didapatkan gejala alergi, maka kecurigaan pecetus ditujukan pada diet ibu sehingga ibu dianjurkan untuk menghindari diet susu sapi beserta produknya.

Untuk kasus yang disertai reaksi anafilaksis, gejala sistemik dapat ringan sampai berat. Anafilaksis merupakan kondisi yang sangat emergensi dan ditatalaksana segera di Instalasi gawat darurat (IGD).  Pemberian suntikan adrenalin (epinefrin) secara subkutan bertujuan untuk mengurangi penyerapan alergen.   Oksigen harus diberikan pada anak dengan sesak, mengi dan sianosis.   Cairan intravena diberikan hingga renjatan teratasi, selanjutnya disesuaikan dengan kebutuhan rumatan.  Pengawasan dan penilaian tanda vital seperti tekanan darah, laju nadi dan frekuensi nafas terus di monitoring hingga kondisi kedaruratan teratasi.

Strategi Pencegahan dan Makanan pengganti
Pemberian ASI pada bayi baru lahir, pantang makanan tertentu pada ibu menyusui, dan penundaan pemberian makanan padat pada bayi dibawah 6 bulan merupakan strategi pencegahan agar tidak terpapar dini dengan alergen.   Pada ibu dengan keterbatasan ASI dan bayi membutuhkan susu formula maka diberikan alternatif makanan pengganti.

Alternatif makanan pengganti dapat dengan formula susu kedelai tetapi harus dipantau karena 40% balita yang alergi terhadap susu sapi juga alergi susu kedelai.  Untuk bayi dengan alergi susu sapi yang diperantarai IgE bisa ditoleransi dengan formula terhidrolisa ekstensif (EHF), ini merupakan alternatif pertama untuk bayi di bawah 6 bulan.   Contoh susu EHF yaitu Pepti Junior® dan Pregestimil®.  Susu non alergenik lainnya yang juga dapat digunakan yaitu formula asam amino (AAF). Susu ini diuraikan dengan menghilangkan protein yang menyebabkan alergi, contoh susu AAF yaitu Neocate® dan Elecare®.

Untuk usia diatas 6 bulan yang telah dimulai makanan tambahan, sayur dapat dilanjutkan sebagai pengganti buah.   Daging sapi dan kambing dapat sebagai pengganti sumber protein telur, ayam dan ikan.  Sebagian alergi makanan pada anak akan menghilang dengan bertambahnya usia.  Anak dengan alergi susu sapi akan toleran pada usia 2-3 tahun.

Penelitian dan pemahaman mengenai mekanisme dasar alergi sangat banyak dan terus berkembang.   Hal ini sangat membantu dalam strategi pencegahan dan tatalaksana kasus alergi.  Tentunya langkah terbaik dalam menyikapi ini adalah avoidance, sesuai pernyataan yang selalu didengungkan “pencegahan lebih baik daripada pengobatan”.

Menulis topik ini membuat saya membaca kembali beberapa literatur  dan mendapatkan banyak asupan baik dari literatur lama maupun terkini.  Mekanisme terjadinya kasus alergi membuat tatalaksana tidak hanya dibatasi pada mengatasi gejala klinis tetapi diperluas dengan mencari penyebab pemicunya.  Dengan diketahui faktor penyebab maka akan lebih mudah bagi para orangtua dalam upaya menghindarinya.  Sebagai penutup, tentunya saya selalu berharap semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua.