Tuesday, November 2, 2010

Hiperbilirubinemia

Kuning (Ikterus).
Kuning atau sering juga disebut dengan istilah ikterus, merupakan kondisi klinis bayi yang ditandai pewarnaan kuning pada kulit dan sklera mata akibat peningkatan bilirubin.  Ikterus pada bayi usia  2-3 hari pertama kehidupan, merupakan hal yang normal (fisiologis) tetapi dapat juga ditemukan kondisi yang  tidak normal (non fisiologis).  Angka kejadian ikterus fisiologis cukup tinggi.  Frekuensi pada bayi cukup bulan 50-60% dan kurang bulan 80%.  Pada usia 1 minggu pertama, lebih dari 85% bayi cukup bulan kembali dirawat karena kondisi ini. 

Ikterus terjadi akibat penumpukan bilirubin dalam darah, dan akan tampak pada jelas pada kulit bila kadar bilirubin antara 5-7 mg/dL.  Cara visual untuk menentukan ikterus dilakukan dengan menekan kulit secara ringan memakai jari tangan kemudian lepaskan.  Warna kulit dinilai dibawah penerangan yang cukup sehingga tampak jelas.  Ikterus sulit dinilai bila penerangan kurang, terutama pada bayi dengan warna kulit gelap.  Amati warna kulit dan tentukan luasnya daerah ikterus pada anggota tubuh.  Pemeriksaan bilirubin serum harus tetap dilakukan karena meskipun cara visual mudah dan praktis tetapi hasilnya kurang akurat.  Waktu terjadinya ikterus juga mempunyai arti yang penting dalam menentukan  kemungkinan diagnosis, faktor penyebab, dan tata laksana.

Metabolisme bilirubin.
Untuk dapat memahami terjadinya ikterus, saya akan sedikit sampaikan tentang metabolisme bilirubin.  Hal ini meliputi produksi, transportasi, konjugasi dan ekskresi bilirubin.  Ada 2 jenis bilirubin yaitu bilirubin indirek (bilirubin tak terkonjugasi) dan direk (bilirubin terkonjugasi).  Produksi bilirubin berasal dari degradasi heme haemoglobin dari sel darah merah (eritrosit) dalam sirkulasi. 

Satu gram haemoglobin menghasilkan sekitar 35 mg bilirubin indirek, bilirubin ini tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak.  Pembentukan bilirubin dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilhan biliverdin. Biliverdin mengalami reduksi menjadi bilirubin indirek.  Di dalam darah bilirubin indirek berikatan dengan albumin dan di transfer (transportasi) ke sel hati.  Dengan bantuan beberapa enzim di dalam sel hati, terjadi proses konjugasi sehingga berubah menjadi bilirubin direk. Bilirubin direk ini larut dalam air dan dieksresikan ke sistem empedu, dan selanjutnya kedalam saluran cerna (usus halus).  Bilirubin direk dengan bantuan flora normal usus diubah menjadi urobilinogen dan sebagian kecil di hidrolisis dengan bantuan enzim β glukoronidase menjadi bilirubin indirek dan di reabsorbsi ke sel hati (siklus enterohepatis).  Metabolisme akhir urobilinogen menjadi sterkobilin yang nantinya akan memberi warna kuning pada feses.

Batasan Hiperbilirubinemia.
Hiperbilirubinemia adalah tingginya kadar bilirubin di dalam darah yang didapat dari pemeriksaan laboratorium.  Faktor penyebab tingginya bilirubin pada bayi baru lahir karena tingginya eritrosit bayi dengan masa hidup yang lebih pendek (70-90 hari), belum matangnya fungsi hati dan meningkatnya reabsorbsi  bilirubin indirek dari usus (siklus enterohepatis).  Tingginya kadar bilirubin ini terjadi pada bayi usia 2-3 hari pertama, mencapai puncaknya pada hari ke 5-7.  Pada hiperbilirubinemia fisiologis, kadar biliriubin akan turun kembali pada hari ke 10-14.  Batasan kadar bilirubin yang aman pada bayi dapat dilihat pada tabel sesuai American Academy of Pediatric (AAP) tetapi secara umum dipakai batasan tidak > 10 mg/dL untuk untuk bayi kurang bulan dan tidak > 15 mg/dL pada bayi cukup bulan.

Ikterus  dianggap fisiologis bila memenuhi kriteria sebagai berikut: ikterus timbul pada usia 2-3 hari dengan kadar bilirubin indirek pada usia tersebut tidak > 15 mg/dL  (bayi cukup bulan) dan tidak > 10 mg/dL (bayi  kurang bulan).  Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak > 5 mg/dL per 24 jam, dengan kadar bilirubin direk > 1 mg/dL.  Ikterus hilang pada 10 hari pertama dan tidak terbukti berhubungan dengan keadaan non fisiologis.

Pemeriksaan laboratorium.
Bilirubin serum total diperiksa pada setiap bayi yang mengalami ikterus pada 24 jam pertama.  Pengukuran ulang dilakukan tergantung luasnya daerah ikterus, usia bayi dan evolusi hiperbilirubinemia.  Kadar bilirubin harus diinterpretasikan sesuai usia bayi bayi dalam jam.  Yang terpenting bila kita mencurigai adanya ikterus non fisiologis maka kemungkinan penyebab harus ditegakkan.

Beberapa faktor penyebab.
Seperti disampaikan sebelumnya bahwa produksi bilirubin berasal dari katabolisme heme.  Kasus ikterus non fisiologis umumnya disebabkan: ketidaksesuaian golongan darah ibu-anak (Inkompatibilitas golongan darah ABO), Breast milk jaundice, faktor rhesus, dan infeksi.  Pada kasus infeksi, selain pemeriksaan darah rutin dan kultur darah,  perlu ditambahkan pemeriksaan urinalisis dan kultur urin.  Penyebab lain yang jarang terjadi adalah defisiensi enzim G6PD (Glucose 6-Phosphat Dehydrogenase), defisiensi piruvat kinase, dan hipotiroid. Kelainan yang disebabkan  defisieni G6PD merupakan kondisi yang menunjukkan respon yang buruk terhadap foto terapi.

Risiko yang dapat terjadi.
Bila didapatkan hasil laboratorium dengan kadar bilirubin indirek tinggi dan tidak diatasi segera, maka dapat menimbulkan risiko berupa efek toksik pada sistem saraf pusat.  Gejala kinis yang ditemukan seperti mengantuk, reflek hisap menurun, muntah, dan kejang.  Kondisi awala ini disebut Bilirubin ensefalopati.  Efek jangka panjang bila hal ini terus berlangsung dan tidak diatasi, maka akan terjadi perubahan pada syaraf pusat yang ditandai penumpukan bilirubin pada otak terutama ganglia basalis, pons dan serebelum yang disebut Kern ikterus.  Kern ikterus merupakan kondisi bilirubin ensefalopati yang kronis dengan gejala sisa (sekuele) yang permanen.  Sekuele dari kern ikterus adalah keterbelakangan mental, kelumpuhan serebral, gangguan pendengaran, dan kelumpuhan otot motorik mata.

Strategi pencegahan.
Strategi praktis yang dikeluarkan oleh AAP, bertujuan menurunkan insidens hiperbilirubinemia berat, ensefalopati bilirubin, dan meminimalkan risiko yang tidak menguntungkan seperti pemberian terapi yang tidak diperlukan, kecemasan ibu, dan berkurangnya pemberian ASI.  Pencegahan dititik beratkan pada pemberian minum sesegera mungkin dengan  frekuensi menyusui paling sedikit 8-12 kali perhari serta tidak memberikan cairan tambahan seperti air gula (dekstrose) atau air putih pada bayi yang tidak dehidrasi.  Pada semua ibu hamil harus diperiksa golongan darah dan rhesus.  Bayi yang pulang sebelum usia 72 jam, dianjurkan untuk diperiksa kadar bilirubinnya.  Memberikan penjelasan mengenai ikterus pada para orangtua, teknik pengawasan dan upaya pencegahannya, hal ini merupakan cara efektif untuk evaluasi  ikterus setelah bayi di rumah.

Tatalaksana.
Tatalaksana yang saya sampaikan lebih ditujukan pada ikterus fisiologis.  Pada  ikterus non fisiologis dibutuhkan beberapa pemeriksaan laboratorium lanjutan untuk memastikan faktor penyebab dan upaya untuk mengatasinya.  Ikterus akan terus berlangsung bila faktor penyebab tidak diatasi.  

Foto terapi.
Terapi sinar (foto terapi) bertujuan untuk mengendalikan kadar bilirubin serum agar tidak mencapai nilai yang membahayakan sampai terjadi bilirubin ensefalopati maupun kern-ikterus.  Foto terapi bertujuan mengubah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air untuk dikeluarkan melalui empedu atau air seni.  Pada saat bilirubin menyerap cahaya, maka terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi sehingga terjadi konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya yaitu lumirubin yang dengan cepat dibersihkan dari plasma melalui empedu.  Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi bilirubin akibat foto terapi.  Sejumlah kecil bilirubin indirek diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang dikeluarkan  lewat air seni.  Foto isomer bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk asalnya dan secara langsung bisa dikeluarkan  melalui empedu ke dalam usus untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati, karena hanya produk foto oksidan saja yang bisa dikelurkan melalui air seni. 

 
Foto terapi hanya berperanan dalam mengendalikan kadar bilirubin, tetapi tidak dapat mengatasi penyebab ikterus maupun berlanjutnya pemecahan heme.  Pada saat dilakukan foto terapi, risiko yang harus diperhatikan adalah kekurangan cairan (dehidrasi) karena adanya pengeluaran cairan yang berlebihan melalui penguapan.  Dehidrasi dapat dicegah dengan pemberian asupan cairan yang adekuat.  

Tingginya insidens kasus ini membuat info ini penting diketahui bagi para orangtua dan pelaksana kesehatan, terutama perawat di ruang bayi.  Dengan memahami topik ini akan mempermudah petugas kesehatan dalam menyampaikan info dan mempermudah orangtua dalam memahaminya.  Demikian topik ini saya sampaikan, semoga tulisan ini dapat menjadi asupan informasi yang bermanfaat.